Senin, 24 Januari 2011

STRATEGI PELAYAYAN GEREJA DALAM KONTEKS GLOBALISASI


Suatu Kajian Teologis Misiologis§
Oleh: Dr. Mery Kolimonª

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi diskusi mahasiswa Kristen yang diselenggarakan oleh GMKI mengenai apa sebenarnya yang harus dilakukan gereja di masa globalisasi sekarang ini. Untuk itu saya akan mulai dengan membuat sebuah gambaran singkat mengenai apa itu globalisasi, kemudian mengenai dampak globalisasi bagi Indonesia, khususnya NTT. Tulisan ini akan diakhiri dengan pikiran mengenai langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan gereja dalam konteks seperti itu.
Sebagai seorang misiolog, uraian ini saya dasarkan pada pertanyaan mengenai apa yang menjadi tugas/misi gereja dalam realita dinamika masyarakat di zaman globalisasi ini.

I. Globalisasi, apa itu?
Semua orang akan sepakat bahwa globalisasi kini telah menjadi sebuah realitas yang tidak dapat ditampik. Namun sulit mendapat sebuah definisi globalisasi yang dapat diterima oleh semua pihak. Meskipun begitu umumnya diterima bahwa globalisasi berhubungan dengan meningkatnya sifat-sifat keterhubungan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kehidupan manusia di planet bumi ini.[1]
Berakhirnya perang dingin antara kekuatan Dunia Pertama (Eropa Barat dan Amerika) dan Dunia Kedua (Eropa Timur/Uni Sovyet) pada tahun 1989 mengakibatkan runtuhnya politik dua kutub yang untuk waktu yang lama bertarung. Runtuhnya Dunia Kedua dengan sistem sosialisme dan komunismenya berdampak pada perluasan sistem kapitalisme pasar ke seluruh dunia. Penekanan sistem ini pada kekuatan modal mengakibatkan peningkatan keuntungan para pemilik modal dan semakin melebarnya jurang antara sangat sedikit orang yang sangat kaya dan massa rakyat yang melarat di seluruh dunia.
Banyak pihak bahkan memandang globalisasi sebagai kolonialisme fase ketiga. Fase pertama meliputi akhir abad ke-15 hingga awal abad ke 19 yang berakhir dengan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan di benua Amerika. Fase kedua dimulai dari pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1950-an yakni kolonialisasi bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Timur Tengah. Meskipun terjadi proses dekolonisasi, namun hal itu segera dilanjutkan dengan neokolonialisme, di mana oleh kebijakan politik luar negeri dan ekonomi mereka, bangsa-bangsa penjajah tetap memiki hegemoni dan kontrol atas bangsa-bangsa yang pernah dijajah. Globalisasi sebagai kolonialisme fase ketiga menolak memberi suara yang setara bagi bangsa-bangsa dunia ketiga. Bangsa-bangsa ini dibuat untuk terus menerus tergantung pada pinjaman luar negeri yang pada gilirannya tidak dapat mereka bayar. Seluruh sumber daya ekonomi lokal termasuk sumber daya alam akan dieksploitasi untuk membayar hutang luar negeri tersebut. Ini berarti pemerintah negara-negara berkembang akan kehilangan kedaulatan, kemampuan dan hak mereka untuk melindungi bangsa mereka sendiri.
Di bidang ekonomi, kekuatan kapitalisme dari berbagai negara (Amerika Serikat, Jepang, Korea, Uni Eropa, Eropa Timur) saling berhubungan satu dengan yang lain dan Amerika Serikat mengambil posisi sebagai pemimpin yang kuat. Kekuatan kapitalisme ini kini disebut ‘neoliberal’ sebab ia mengingatkan kita pada kapitalisme industrial pada  akhir abad ke-19. Ideologi kapitalisme ini menolak kontrol pemerintah dan berusaha untuk menghindari aturan apa pun (pasar bebas). Oleh karena kemampuan dan kuasa yang mereka peroleh dari memanfaatkan sistem komunikasi, mereka memberi kesan bahwa tidak ada alternatif selain apa yang mereka lakukan. Kapitalisme karena itu menghadirkan dirinya sebagai sebuah agama baru. Prinsip-prinsip bahwa pasar itu mutlak, persaingan adalah satu-satunya cara, dan keuntungan adalah nulai yang paling utama, menjadi klaim-klaim transendental yang dimaksudkan untuk mengkonfigurasikan kembali dunia bagi kepentingan mereka yang ingin menciptakan uang.
Dalam kenyataanya kapitalisme neoliberal ini telah memperkaya beberapa orang di dunia ini, tetapi membuat banyak orang menjadi miskin dan hidup dalam keadaan memprihatinkan. Klaim-klaim seperti di atas dan konsekuensi dari kapitalisme neoliberal telah menyebabkan wajah buruk globalisasi.
Di bidang politik, keruntuhan Tembok Berlin menjadi simbol berakhirnya Komunisme dan jenis Sosialisme yang dianjurkannya. Demokrasi kemudian menggantikan tempat Komunisme di Eropa Timur dan di seluruh dunia. Ada tiga dampak langsung globalisasi terhadap kehidupan politik. Pertama, globalisasi melemahkan kekuatan negara. Perusahaan-perusahaan transnasional bisa saja terus berjalan tanpa mengindahkan usaha-usaha pemerintah untuk mengatur mereka. Meskipun negara diperlemah, namun tidak akan dihilangkan karena masih ada fungsi-fungsi negara yang kepadanya kekuatan neoliberal itu bergantung. Kedua, melemahnya kekuatan negara –entah oleh kapitalisme transnasional atau oleh tiadanya struktur untuk mendukung demokrasi – telah memimpin kepada kemungkinan bangkitnya kelompok-kelompok etnis dalam negara yang mengklaim otonomi. Lebih besar kemungkinan perang terjadi sekarang antara kelompok-kelompok dalam negara daripada antar negara. Ketiga, tidak adanya sistem alternatif bagi kapitalisme neoliberal. Ini menyebabkan hilangnya suatu dasar bersama untuk membayangkan suatu masa depan dunia yang adil untuk semua.[2]
Di bidang sosial budaya, kita perlu menyebutkan tiga hal mengenai bagaimana globalisasi merubah ranah sosial budaya. Yang pertama adalah migrasi. Globalisasi ekonomi dan relatif mudahnya melakukan perjalanan jarak jauh telah menarik bahkan memaksa sejumlah besar orang untuk bermigrasi dalam upaya memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Sangat mengejutkan bahwa mayoritas dari pekerja migran ini adalah perempuan (ingat TKW di NTT) dan juga sejumlah besar anak. Para pekerja migran ini bekerja dengan gaji yang sangat kecil dan tidak memiliki perlindungan terhadap hak-hak mereka. Kedua, sirkulasi ikon-ikon budaya terutama yang berasal dari Amerika Serikat yang merubah persepsi dan gambaran diri manusia di seluruh dunia, terutama kaum muda yang merupakan populasi mayoritas di negara-negara miskin. Pakaian, makanan, dan entertainment yang dipropagandakan di media mendefinisikan apa yang artinya menjadi bagian dari ‘komunitas’ dunia, dan gambaran menjadi manusia bagi kaum muda adalah menjadi pengkonsumsi (seseorang yang bisa membeli produk-produk yang diiklankan tersebut). Produksi dan konsumsi materi menjadi titik yang mendefinisikan siapa itu manusia di dunia yang terglobalisasi ini. Orang tua yang tidak lagi berproduksi, kaum miskin yang tidak memiliki alat untuk berproduksi atau untuk mengkonsumsi menjadi termarginal dari persaingan globalisasi. Ketiga, reaksi yang kuat dan kemarahan terhadap dampak-dampak globalisasi muncul di kalangan mereka yang terabaikan kemudian muncul dalam bentuk resistensi. Klaim etnisisme (identitas kultural) maupun agama menjadi sumber bagi perlawanan terhadap globalisasi. Identitas kultural dan agama ini dihidupkan kembali dalam berbagai bentuk fundamentalisme. Akibatnya hubungan antara agama dan kekerasan menjadi suatu tema baru yang membutuhkan perhatian yang lebih besar dalam dunia kita sekarang ini.
Tentu munafik jika kita hanya menyebutkan aspek negatif dari komunikasi. Globalisasi memiliki pula dampak positif yaitu pengembangan teologi komunikasi. Melalui pengembangan teologi komunikasi ini pesan dan informasi dengan cepat bisa tersebar ke seluruh dunia. Globalisasi memberi pula sumbangan bagi peningkatan kemakmuran material, perbaikan kesejahteraan, kesempatan pendidikan, kebebasan individu, dan pembebasan dari berbagai tradisi yang menindas.

II. Dampak Globalisasi terhadap NTT
Tak ada satu bagian bumi pun yang kini luput dari pengaruh globalisasi, termasuk NTT. Di bidang komunikasi dapat kita lihat terjadinya peningkatan kapasitas penyebaran informasi secara cepat. Oleh hadirnya berbagai layanan jasa telekomunikasi seluler, daerah daerah di NTT yang dulu dipandang terisolir pun kini cenderung terbuka oleh alur masuk dan keluarnya informasi. Hal ini mempunyai dampak yang luas pula terhadap proses demokratisasi akses informasi. Setelah sekian lama oleh pola Orde Baru, sistem informasi kita dikelola secara ‘terpimpin’ maka kini rakyat mendapat kesempatan  untuk berjaringan secara independen. Ini memberi juga ruang bagi kontrol yang lebih oleh rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Namun ada sisi negatif pula dari perkembangan teknologi komunikasi ini yang memberi sumbangan pada kecenderungan melemahnya intensitas hubungan manusiawi antar warga. Kehadiran perangkat komunikasi canggih ini berdampak ambivalen. Di satu sisi menyebabkan semakin mudahnya komunikasi antar manusia, namun di sisi lain ia memiliki kekurangan oleh karena kualitasnya tetap tidak sama dengan komunikasi tatap muka.
Di bidang ekonomi, cerita mengenai realitas NTT sebagai salah satu propinsi miskin di Indonesia akan menjadi sebuah kenyataan yang sulit dientaskan. Jurang antara mereka yang miskin dan kaya akan menjadi semakin melebar. Kasus gizi buruk, penjualan perempuan dan anak (trafficking), eksploitasi sumber daya alam (pertambangan) akan menjadi semakin memprihatinkan. Pemerintah daerah akan dihadapkan pada pilihan sulit antara kekuatan kapitalis dengan dalih investasi dan kepentingan rakyat yang sangat rentan terhadap eksploitasi. Idealnya negara/pemerintah ada untuk melindungi rakyat dari berbagai macam eksploitasi dan penindasan. Namun dalam kenyataan banyak kali negara/pemerintah gagal untuk melaksanakan fungsinya itu.
Di bidang politik, kita berhadapan dengan premanisme politik sebagai akibat ketidak-puasan terhadap ketidak-mampuan negara dalam  memberikan perlindungan kepada warganya. Ini membawa konsekwensi bagi NTT sebagai daerah dengan populasi warga mayoritas Kristen. Kita sedang ditantang untuk memberikan tanggapan terhadap tarik menarik antara kekuatan nasionalis dan kecenderungan politisasi agama di tingkat nasional. Kekecewaan terhadap kegagalan modernisasi untuk keadilan dan kesejahteraan di Indonesia mengakibatkan bangkitnya kecenderungan melihat sumber daya agama (Islam) sebagai alternatif ideologi berbangsa. Munculnya berbagai Perda Syariah merupakan bentuk-bentuk dari perjuangan tersebut. Pertanyaan bagi kita di NTT, adalah tanggapan macam apakah yang akan kita berikan terhadap kecenderungan yang demikian.
Di bidang budaya, kita menyaksikan ketercabutan kaum muda dari identitas budayanya. Kita berhadapan tidak saja dengan bombardement kampanye ‘budaya Barat’ sebagai ‘budaya global’ tetapi juga gejala penyeragaman identitas ke-Indonesia-an. Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebagai contoh, menggeser penggunaan bahasa-bahasa lokal. Bahasa-bahasa daerah kita kini sedang kalah bersaing. Padahal bahasa adalah unsur yang membentuk identitas. Kegamangan budaya bisa jadi turut memberi sumbangan pada krisis identitas yang dialami banyak orang muda NTT.

III. Misi Gereja di Masa Globalisasi
Melihat dampak positif dan negatif globalisasi yang demikian, kita bertanya tentang bagaimana strategi pelayanan gereja-gereja kita. Untuk sebuah deskripsi mengenai sejauhmana gereja-gereja kita memberi perhatian terhadap hal ini kita dapat memperhatikan beberapa hal. Di antaranya adalah dokumen-dokumen gerejawi baik di GMIT dan GKS (RIP dan HKUP) serta praksis pelayanan di lapangan. Namun karena keterbatasan waktu dan ruang dalam tulisan ini hanya akan memberikan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian dalam mengembangkan strategi pelayanan gereja di masa globalisasi ini.
Pada tempat pertama mesti ditegaskan bahwa gereja harus terlibat dalam globalisasi. Tidak bisa tidak. Kita mesti mencari cara untuk terlibat di sana. Analisis saja tidak cukup. Harus dilanjutkan dengan aksi. Keterlibatan dalam globalisasi adalah dengan prinsip yang jelas untuk berada bersama dengan mereka yang lemah, yang menjadi korban dalam arus persaingan globalisasi itu. Gereja sebagai komunitas yang menerima misi dari Allah untuk terlibat dalam karya keselamatan Allah mendapat mandat untuk mengerjakan kabar baik di tengah-tengah dunia ini. Juga dalam konteks globalisasi.

Pemberdayaan Warga di Bidang Politik

Peran gereja dalam bidang politik di masa globalisasi ini menurut hemat saya ada dalam satu kata kunci yaitu pemberdayaan/empowerment. Tugas gereja adalah memberdayakan warga masyarakat/gereja untuk menjadi komunitas yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, menjadi solid, dan kuat dalam membela dan mempertahankan hak-haknya. Dalam kenyataan bahwa kekuasaan negara diperlemah oleh kekuatan kapitalis global, maka rakyat harus membangun kekuatan untuk tidak terus menerus menjadi korban.
Dalam konteks seperti itu menurut hemat saya, secara konkret gereja dapat melakukan beberapa hal. Pertama, bekerja untuk membangun atau membangun kembali struktur-struktur perantara dalam masyarakat yang dapat terlibat dalam struktur makro secara efektif. Langkah yang strategis menurut saya adalah keterlibatan dalam penguatan masyarakat sipil yang kuat.
Dalam debat mutakhir, arena politik dibagi atas tiga bagian yaitu negara (state), masyarakat politik (political society), dan masyarakat sipil (civil society).[3] Yang di maksud dengan negara meliputi tidak saja pemerintah tetapi juga segala bentuk birokrasi, dan institusi administratif dan hukum. Sedangkan masyarakat politik adalah suatu arena di mana individu dan kelompok yang saling bersaing untuk untuk mendapatkan power dan otoritas publik dalam rangka mengatur aparatur-aparatur negara. Partai-partai politik dapat kita identifikasi sebagai masyarakat politik. Yang terakhir, masyarakat sipil, adalah tempat di mana berbagai gerakan sosial dan asosiasi mengatur diri mereka sendiri untuk memperjelas opini dan perjuangan mereka demi memperoleh apa yang mereka cita-citakan. Yang termasuk dalam masyarakat sipil ini dapat kita sebutkan kelompok-kelompok kritis di kalangan mahasiswa, para aktifis LSM, dan kelompok-kelompok berlatar-belakang keagamaan. Mereka ini menolak hegemoni negara dan sebaliknya berusaha untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan.
Menurut hemat saya ruang civil society merupakan arena yang harus secara maksimal dimanfaatkan gereja untuk peran politiknya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk waktu yang sangat lama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia apa yang disebut sebagai masyarakat sipil sangat lemah dan diperlemah serta ditindas. Terutama pada masa Orde Baru gerakan-gerakan sosial yang membangun bersikap kritis terhadap pemerintah diberangus. Kita masih ingat banyak sekali aktifis-aktifis hak asasi manusia, tokoh buruh, pemimpin surat kabar, dan elemen masyarakat sipil lainnya yang dicekal, dibunuh atau dihilangkan (secara khusus ingat cerita Munir). Bukan saja masyarakat sipil yang mengalami kekerasan tetapi juga masyarakat politik. Selama lebih dari tiga dekade partai-partai politik di Indonesia bersifat tidak lebih dari alat negara untuk kepentingan penguasa. Baru sejak keruntuhan Soeharto dan dengan dimulainya apa yang kita sebut sebagai era Reformasi, parta-partai berfungsi kembali sebagai ruang yang relatif lebih bebas untuk kompetisi politik. Terutama oleh trauma politik 1965, akibat dari gerakan massal anti-komunisme di Indonesia, keberanian rakyat untuk bersikap kritis benar-benar diperlemah. Mesin birokrasi dan militer Orde Baru bekerja sangat intens untuk memperlemah kekuatan masyarakat sipil dan masyarakat politik. Kini arus reformasi memberi harapan untuk penguatan rakyat menghadapi kecenderungan kapitalisme neoliberal. Ruang ini harus dimanfaatkan benar oleh gereja untuk aktualisasi perannya di bidang politik.
Bagian kedua dari strategi di bidang politik adalah mendukung pekerjaan NGO/LSM yang mampu untuk bekerja di wilayah ekologi, perubahan politik, pengembangan opini masyarakat, dan pembentukan jaringan kelompok-kelompok yang terisolir. Sudah bukan masanya lagi gereja menjadi pemain tunggal. Kita mesti ada dalam jaringan. Berhadapan dengan kapitalisme global yang mengandalkan jaringan, kita akan terlindas kalau bergerak sendiri-sendiri. Seluruh kekuatan masyarakat sipil seperti aktifis LSM, lembaga keagamaan, kelompok kritis mahasiswa, mesti bersatu untuk peran-peran bersama.
Penguatan Ekonomi Rakyat

Berhadapan dengan kecenderungan kapitalisme global yang mengeksploitasi dan memarginalkan, semua kita yang berkehendak baik untuk peningkatan kesejahteraan rakyat ditantang untuk menemukan pola yang membangun kekuatan ekonomi dari bawah (globalization from below). Gereja bertugas untuk menerjemahkan Kabar Baik/Syalom Allah itu dalam tindakan yang nyata. 
Di bidang ekonomi, ada beberapa langkah strategis yang sebaiknya ditempuh gereja. Pertama, membangun kekuatan ekonomi dari bawah. Ada berbagai pilihan strategi ekonomi yang tersedia bagi gereja, namun menurut hemat saya gereja mesti terutama berfokus pada upaya membangun visi dan praksis ekonomi alternatif berhadapan dengan kapitalisme  yang cenderung memunculkan dirinya sebagai agama baru. Gereja dan semua pihak yang lain bertugas untuk mengembangkan jaringan alternatif yang menolong kaum miskin dalam upayanya untuk survive. Berkembangnya koperasi-koperasi kredit (credit union) di NTT harus didukung. Bahkan gereja mestinya berada di garis depan untuk menguapayakan penguatan ekonomi rakyat ini.
Dalam hubungan itu gereja sebaiknya menghindarkan diri dari dimanfaatkannya gereja untuk kepentingan kapitalisasi. Sebab bisa jadi dengan alasan kepentingan pengembangan dana pelayanan gereja terjebak dalam kapitalisasi pelayanan juga. Karena itu GMIT dan GKS mesti bertanya pada diri mereka sendiri apakah model pengembangan ekonomi yang sedang dilakukan merupakan bagian untuk memberdayakan rakyat atau justeru memperdayakan mereka.[4]
Ada tiga tema teologis yang dapat dikembangkan dalam konteks ini yaitu inkarnasi, pendampingan, dan solidaritas. Inkarnasi menunjuk pada Allah yang telah mengosongkan diriNya di dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia. Upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh gereja harus dilakukan dalam semangat mengosongkan diri seperti itu. Bukan dalam pendekatan militeristik dan semangat menguasai melainkan dalam spiritualitas hamba yang mencuci kaki para terluka dan korban sejarah. Pendampingan/accompaniment tidak saja berarti berjalan di samping melainkan juga berarti kehadiran yang konstan dan terlibat dengan mereka yang dilayani. Solidaritas merupakan konsekwensi dari pendampingan itu, menempatkan diri dalam realitas korban dan berjuang bersama untuk pembebasan.
Strategi yang kedua di bidang ekonomi adalah bekerja dalam jaringan nasional dan internasional untuk membangun solidaritas dari bawah (misalnya jaringan selatan-selatan, selatan-utara, dsb). Gereja sebenarnya sudah punya kapasitas jaringan melalui gerakan ekumenis nasional dan global. Lembaga seperti GMIT, PGI (Persekutuan Gereja-gereja se Indonesia), WCC/DGD (Dewan Gereja Sedunia), WARC (Persekutuan Gereja-geraja Reformasi Sedunia) bisa menjadi simpul-simpul jaringan pemberdayaan ekonomi. Selain itu ada banyak kemungkinan jaringan lain yang dibangun dengan berbagai kekuatan pro-rakyat lainnya yang bergerak di bidang ekonomi. Semuanya kembali pada kesadaran untuk memandang itu sebagai tugas gereja dan kemauan baik untuk melaksanakannya sebagai bagain dari misi gereja.

Pengembangan Teologi Kontekstual Yang Menopang Identitas Budaya

Di bidang sosial budaya globalisasi, seperti diuraikan di atas, mengakibatkan kecenderungan kegamangan identitas budaya, terutama di kalangan kaum muda. Akibat pengaruh globalisasi budaya para pemuda tidak lagi bangga dengan identitas lokal mereka. Akibat pencitraan diri melalui media televisi, internet, dll, maka pemuda cenderung menyesuaikan diri mereka begitu saja dengan nilai-nilai global tanpa bersikap kritis. Mereka juga malu mengaku diri sebagai ‘orang Timor, Rote’ Alor’, dsb. Ada kecenderungan di kalangan pemuda kita untuk tidak puas dengan penampilan diri mereka melainkan merubah penampilan sebisa mungkin untuk menyesuaikannya dengan budaya global (rebonding, pemutihan wajah/kulit, dan berbagai gaya lainnya). Bahkan tak jarang itu dilakukan membayar mahal sekali. Padahal itu bukan sesuatu yang mendasar untuk dilakukan. Selain itu kearifan lokal/tradisional menjadi sesuatu yang kurang menarik bagi orang muda dibandingkan pengetahuan modern.
Dari perspektif teologis kita harus berani mengatakan bahwa melalui budaya juga Allah menyatakan diri dan hikmatNya kepada para leluhur kita. Melalui ajaran-ajaran mereka yang baik, ritus-ritus, bahasa, tuturan adat, kesenian, pola makan, dst, ada nilai-nilai berharga yang merupakan tanggapan para leluhur kita terhadap penyataan Allah kepada mereka. Tugas kita sekarang adalah memberikan tanggapan itu melalui bagaimana kita mengembangkan budaya. Kita tidak bisa hanya melihat ke belakang, dan menganggap budaya lokal sebagai satu-satunya acuan dalam memberikan tanggapan terhadap dunia kita dan terhadap Allah pada masa kini. Jika sikap itu kita pilih maka kita akan jatuh pada apa yang disebut sebagai romantisme budaya. Kita juga tidak bisa menolak begitu saja budaya global sebagai sesuatu yang jahat semata-mata. Karena pasti ada aspek yang baik di sana (pendidikan, kesehatan, teknologi, sistem komunikasi/informasi, dst). Kalau kita meolak begitu saja maka sebenarnya kita munafik karena ada hal yang baik dari budaya global yang bermanfaat dan sedang kita manfaatkan.[5]
Yang perlu kita lakukan adalah memilih apa yang baik dari warisan leluhur untuk tetap kita pelihara sebagai sumber belajar untuk menciptakan kehidupan yang berkualitas pada masa kini yang memuliakan nama Tuhan dan membawa kebaikan bagi hidup bersama. Pada saat yang sama kita juga perlu bersikap kritis terhadap budaya yang tidak menunjang keadilan, kesetaraan, dan kebaikan (contoh patriakhi, sifon, dll).
Hendaknya kita menjadi pemuda gereja yang bangga sebagai orang Timor, Alor, Rote, Sabu dan seterusnya dalam konteks kita masing-masing. Adalah tugas kultural kita juga sebagai pemuda gereja untuk memelihara dan mengembangkan apa yang baik dari budaya kita (nilai, kepercayaan, relasi, tradisi, bahasa, makanan, pakaian, musik, pengaturan tempat, dsb). Pada saat yang sama kita terbuka pada nilai-nilai dan praktek yang positif dalam budaya global yang menjadi masukan untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat, sambil kritis pada nilai-nilai yang membuat manusia kehilangan kemanusiaan mereka.

Pengembangan Gereja Sebagai Komunitas Rekonsiliatif

Salah satu akibat globalisasi adalah kenyataan mengerasnya identitas sosial budaya dan agama yang berwujud dalam primordialisme/etnisisme dan fundamentalisme. Kita kini berhadapan dengan semakin intensnya kekerasan dan konflik warga, terutama kaum muda. Dalam konflik-konflik tersebut kita melihat kuatnya simbol-simbil agama digunakan. Sebagaimana saya sebutkan di atas hubungan antara agama dan kekerasan kini menjadi suatu tema baru yang membutuhkan perhatian yang lebih besar.
Dari perspektif misiologis, dalam konteks seperti itu, saya memandang tugas gereja yang penting adalah dalam kerangka pendamaian/rekonsiliasi (membangun perdamaian, mengupayakan keadilan, menyembuhkan memori, dan membangun kembali masyarakat yang hancur karena konflik). Karya rekonsiliasi gereja memiliki dasarnya pada iman kepada Allah sendiri yang karya pendamaianNya telah dinyatakan kepada kita dalam hidup, kematian, dan kebangkitan Kristus, PuteraNya.
Gereja terpanggil untuk tugas rekonsiliasi ini. Pertama dengan membangun komunitas cinta damai yang mengedepankan cara-cara tanpa kekerasan dalam perjuangan untuk keadilan. Termasuk dalam hal ini adalah keterlibatan dalam rekonstruksi moral dalam komunitas masyarakat yang hancur akibat konflik serta mengembangkan spiritualitas rekonsiliasi yang mampu memberi maaf dan hidup dalam satu dengan yang lain.
Berhadapan dengan gejala pengerasan identitas keagamaan dan identitas budaya, hendaklah gereja berada di garis depan untuk mengembangkan semangat persahabatan lintas agama dan lintas etnis.
SoE, 25 Februari 2010






§ Materi Seminar Dalam Rangka Konsultasi Wilayah VII GMKI Tahun 2010 di Gedung Gereja Maranatha SoE, pada tanggal 25 Februari 2010.
ª Pendeta GMIT, pengajar pada fakultas Teologi UKAW, mantan Sekretaris Komisariat Fak. Teologi UKAW periode 1993-1995.
[1] Robert Schreiter, The New Catholicity. Theology Between the Global and the Local, Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002, 4-5.
[2] Lihat Robert Schreiter, Globalization and Reconciliation. Challenges to Mission, dalam: Schreiter, (ed.), Mission in the Third Millenium, Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002.
[3] Alfred Stephan, Rethinking Military Politics. Brazil and the Southern Cone, Princeton (NJ), 1988, 3-4.
[4] Ada skripsi mahasiswa kami yang justeru menunjukkan bahwa pelayanan beberapa lembaga ekonomi ‘milik gereja’ dalam kenyataannya tidak memberdayakan masyarakat malah memperdayakan mereka. Lihat Elfrantin de Haan, Orang Miskin Memberi Makan Orang Lapar, Skripsi, Kupang: Fakultas Teologi UKAW, 2010.
[5] Lihat Mery Kolimon, A Theology of Empowerment. Reflections from a West Timorese Feminist Perspective, Berlin: Lit Verlag, 2008.